judul: Autumn in Paris
penulis: Ilana Tan
penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007
tebal: 272 halaman
rating: 4 stars
rating: 4 stars
Tatsuya Fujisawa, seorang arsitek kelahiran Jepang dengan sengaja datang ke Paris untuk mengerjakan proyeknya bersama Sebastien Giraudeau. Selain untuk urusan pekerjaan, Tatsuya pun memiliki maksud lain yakni menemui seseorang yang Ia rasa telah menghancurkan hidupnya. Ia membenci Paris dan segala hal yang ada didalamnya. Sebelum sempat bertemu dengan seseorang yang dimaksud, Ia malah bertemu dengan seorang gadis aktif nan cerewet yang serba ingin tahu. Tara Dupont, gadis yang Ia kenal lewat Sebastien di bistro kecil itu tanpa sengaja telah mengisi hatinya yang kosong.
Atas saran Tara, Ia berani menuliskan e-mail ke acara Je me souviens, dan menceritakan kisahnya tentang si Gadis musim gugur. Dipertemuan kedua yang sama sekali tak diduga, Tatsuya pun memberanikan diri untuk meminta Tara agar menemaninya menelusuri kota Paris. Semakin banyak jejak langkah yang mereka tapaki bersama di kota Paris, semakin bersemi pula benih-benih cinta yang ada dihati mereka. Tapi, sayangnya sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, kenyataan pahit telah menghancurkan bunga-bunga yang bersemi. Tatsuya-lah yang pertama kali menyadari hal ini, sementara Tara tidak mengetahui apa-apa sama sekali. Sekuat apapun Tatsuya berusaha, Ia tetap tidak bisa melawan takdir. Karena benang masa lalu terlalu kuat mengikat, sehingga tak ada secuil pun harapan untuk mereka bisa bersatu.
Tiba-tiba saja Paris terlihat jauh lebih indah. Daun-daun yang berguguran tidak lagi terasa tragis baginya. Tatsuya menghirup udara dalam-dalam, seakan ingin menghilangkan sisa masalah yang mengganjal di dada. Di saat-saat seperti ini orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah gadis yang seperti obat penenang baginya. Tara Dupont.
Novel ini merupakan buku kedua dari Season Series karya Ilana Tan, namun merupakan buku terakhir yang kubaca dari seri tetralogi tersebut. Alasannya simpel saja, aku pecinta sad ending jadi aku ingin membacanya diakhir. Hehehe. Adikku yang sudah lebih dulu membaca buku ini (beberapa tahun lalu) pun mewanti-wanti, katanya aku akan menangis ketika membaca Autumn in Paris ini dan benar saja, aku memang menangis. :( Penulisan yang apik dan mengalir dengan lembut membuatku terhanyut ke dalam cerita.
Tidak sulit bagiku untuk menyukai sosok Tatsuya, karena Ia memang tipe lelaki yang likeable dan dapat dengan mudah membuat wanita jatuh hati, termasuk Tara. Kalau dilirik dari plot sendiri, cerita seperti ini mungkin cukup sederhana. Dua orang bertemu, kemudian bertemu lagi secara kebetulan, saling tertarik satu sama lain, dan bom waktu pun meledak begitu saja. Memuntahkan rahasia-rahasia yang ada di masa lalu, membuat hubungan mereka yang tadinya menyenangkan berubah menjadi tragis.
Tidak sulit bagiku untuk menyukai sosok Tatsuya, karena Ia memang tipe lelaki yang likeable dan dapat dengan mudah membuat wanita jatuh hati, termasuk Tara. Kalau dilirik dari plot sendiri, cerita seperti ini mungkin cukup sederhana. Dua orang bertemu, kemudian bertemu lagi secara kebetulan, saling tertarik satu sama lain, dan bom waktu pun meledak begitu saja. Memuntahkan rahasia-rahasia yang ada di masa lalu, membuat hubungan mereka yang tadinya menyenangkan berubah menjadi tragis.
“Aku paling suka berada di tempat yang tinggi, karena aku akan merasa... mm, bagaimana mengatakannya, ya? Rasanya begitu jauh dari peradaban. Kau mengerti maksudku? Rasanya seperti meninggalkan beban di tanah dan kita melayang bebas. Aku dan Sebastien suka ke sana kalau sedang stres. Aku jamin, setengah jam di sana perasaanmu langsung jauh lebih baik.”
Orang lain memang sudah banyak membahas hal ini dalam reviewnya, yaitu tentang setting tempat yang disia-siakan begitu saja oleh penulis. Aku tidak bisa merasakan hawa kota Paris dalam novel ini (begitu pula dengan tiga novel lainnya), Ilana Tan tidak memberikan penggambaran yang detil terhadap tempat-tempat yang dikunjungi Tatsuya dan Tara, penulis hanya mencantumkan nama tempat tersebut dan setelah itu tidak ada. Padahal aku ingin merasakan juga bagaimana rasanya berkunjung ke museum, dan Arc de Triomphe, juga tempat-tempat menarik lainnya di kota Paris.
Sebagai penikmat sad ending, novel ini benar-benar menyiksaku (dalam arti yang bagus tentunya). Di awal cerita aku sudah dibuat klepek-klepek oleh sosok Tatsuya, terlebih lagi ketika membaca e-mail yang dikirimnya ke acara radio. Rasanya tidak mungkin ada lelaki yang seromantis itu di dunia ini. Hahaha. Bagian yang paling membuatku terpukul adalah ketika Ia menemukan Tara yang sedang menyendiri di Arc de Triomphe kemudian mengajaknya untuk melupakan kenyataan sesaat dan bersenang-senang, membebaskan perasaan mereka untuk mengalir malam itu saja.
Tatsuya baru menyadari ia sangat merindukan Tara. Ia baru menyadarinya ketika akhirnya menemukan gadis itu berdiri di puncak Arc de Triomphe. Melihat punggung gadis itu saja bisa membuat jantungnya berdebar kencang. Saat itu juga ia menyadari sia-sia saja ia berusaha menghindari Tara selama ini. Ia bisa saja menghindari gadis itu, tapi ia tidak bisa menghindari perasaannya. Segalanya bertambah rumit. Meskipun begitu, Tatsuya tidak ingin memikirkannya sekarang.
Novel Autumn in Paris adalah buku yang paling berkesan untukku dibandingkan dengan ketiga buku lainnya dalam tetralogi Season Series. Bukan karena aku baru selesai membaca novel ini tapi, karena aku sudah terlanjur mencintai karakter Tara dan Tatsuya. Walaupun dengan ending yang menurutku terkesan agak memaksa dan menyesakkan, aku berharap Tara dan Tatsuya akan bahagia di kehidupan mendatang. :)
xo, sanri
No comments:
Post a Comment