Thursday, 24 April 2014

(Book) Notasi by Morra Quatro


judul: Notasi
penulis: Morra Quatro
penerbit: GagasMedia, 2013
tebal: 294 halaman
rating: 5 stars

Kisah ini berawal dari kedatangan Nalia ke kampus UGM, Yogyakarta setelah tiga belas tahun lamanya. Kunjungannya ke kampus tersebut kembali mengingatkannya akan kenangan seseorang yang ada dihatinya selama bertahun-tahun, kenangan akan peristiwa besar yang terjadi pada masa itu, peristiwa yang nantinya akan selalu dikenang bahkan oleh seluruh masyarakat Indonesia, Tragedi Mei 1998. Peristiwa yang ia alami sendiri bersama teman-temannya yang juga berjuang untuk keadilan rakyat Indonesia, meneriakkan kata-kata perjuangan sambil menggenggam tangan seseorang, tangan kuat yang juga balik menggenggamnya dengan sama erat, Nino.

Seketika itu pula aroma jalanan itu merebak. Bunga kantil, cengkih, sedap malam, dan entah apa lagi. Begitu khas jalanan Kota Yogyakarta, khas kompleks perumahan ini, kota Kesultanan ini. Kutegakkan dudukku. Di ujung jalan, ada pertigaan yang kuingat betul; ke kiri jalan raya, ke kanan arah kampus utama.
Fakultas Kedokteran UGM pada saat itu akan mengadakan lomba karya tulis ilmiah dan Nalia sebagai ketua pelaksana pun datang ke gedung Fakultas Teknik untuk kepentingan promosi dengan menyewa jasa Radio Jawara FM, radio milik mahasiswa Jurusan Teknik Elektro. Kedua fakultas ini memang tidak akur, mereka sering berseteru, ditambah lagi dengan waktu pemilihan Presiden Mahasiswa kampus yang semakin dekat pun memperuncing perseteruan karena Ketua BEM dari masing-masing fakultas ikut mencalonkan diri. Mahasiswa Teknik menganggap bahwa mahasiswa Fakultas Kedokteran orang kaya karena dana mereka yang turun dari Universitas terbilang cukup banyak, sementara Fakultas Teknik harus membagi anggaran  yang jumlahnya sama tersebut menjadi delapan bagian karena memang ada delapan jurusan didalamnya. Karena alasan itulah mereka dengan sengaja dan tanpa pemberitahuan menaikkan harga sewa iklan di Radio Jawara FM, yang menurut Nalia merupakan alasan konyol dan kekanakan.

Nalia kembali ke gedung Kedokteraan dan menyampaikan hal ini pada Ketua BEM fakultasnya, Tengku yang pada akhirnya setuju untuk mencoba memakai jasa Radio Gama FM, radio milik mahasiswa D3 jurusan Teknik Elektro, namun sayangnya mereka menolak dengan alasan radio Gama FM tidak memiliki izin resmi untuk mengudara dan juga karena pemerintah sedang berada dalam insekuritas terhadap media. Mereka lebih memilih untuk mencari aman dan patuh. Nalia yang menanti keempat temannya dihalaman gedung D3 Teknik Elektro pun merasa sedikit takut karena hari telah berubah malam ketika seseorang datang dengan Toyota lamanya, membuka pintu mobil dan keluar, melirik sekilas ke arah Nalia. Lelaki tenang itu membaca koran kemudian menawarkan Nalia untuk berbagi halaman. Ia sedikit bercerita tentang kasus koran Tempo yang membuat media jurnalistik semakin hati-hati dalam menyebarkan info-info kepada masyarakat. Giftan Mariano Alatas namanya, atau lebih dikenal sebagai Nino.
Kehangatan itu. Satu dari kehangatan-kehangatan lain nantinya-sebenarnya tidaklah banyak dalam kebersamaan kami yang terlalu singkat. Pada detik itu telah kukenali jiwa yang ramah di balik sosoknya yang pendiam, dan aku yakin itu. Karena aku tahu bahwa tekanan emosi, rasa takut, marah, sedih, atau jatuh cinta, semua orang pasti menunjukkan warna asli mereka.
Keadaan malam yang sepi di daerah Sekip, dan obrolan singkat itulah yang mengawali kedekatan Nalia dan Nino. Posisi Nalia sebagai Ketua Pelaksana lomba karya tulis ilmiah memngharuskannya untuk tetap menjalin hubungan baik dengan seluruh anggota BEM fakultas lainnya yang ada di UGM, tak terkecuali Fakultas Teknik. Ia yang sudah lumayan familiar dengan gedung tersebut akhirnya sampai disebuah ruangan yang ternyata sedang berada dalam suatu diskusi panas. Nalia yang hendak mengurungkan diri karena takut mengganggu pun tersentak ketika Nino keluar dengan wajah kusut  dan emosi.


Mereka berbincang sebentar sebelum akhirnya Nino mengajak Nalia pergi dan kemudian singgah di warung "Tiada Tara". Seiring dengan matahari yang mulai tenggelam, mereka pun saling membuka diri yang diakhiri dengan kesanggupan Nino untuk datang ke acara itu sebagai perwakilan dari BEM Fakultas Teknik. Malam lomba karya tulis ilmiah itu pun datang, cukup banyak orang yang hadir dan menikmati alunan gitar dari Eross, gitaris sebuah band populer di Yogyakarta yang diundang untuk mengisi acara, tetapi sayangnya, malam itu harus berakhir dengan kejadian tak terduga. Sesaat setelah Nino duduk bersebalahan dengan Nalia, menatapnya lama dan mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat, bencana itu tiba-tiba datang. Merusak kegiatan malam itu, dan juga mengotori kisah romansa antara Nalia dan Nino yang baru saja akan dimulai.
Kemudian seseorang dari kursi hadirin tampak bergerak keluar, berlari. Segera pria itu pun mengejar. Dalam sekejap perempuan yang berada ditengah-tengah lapangan basket menjerit panik, karena si pengejar itu terlihat membawa senjata. Pak Syahid datang dari arah belakang disusul Resimen Mahasiswa yang hendak mengejar. Orang yang sedang dikejar itu berlari kearah  barisan dekan-yang  berdiri menoleh sembari ternganga bingung-ketika kami sadari, ternyata dibelakang masih ada sejumlah orang yang datang menyerbu.
Teriakan keras dari oknum-oknum yang datang tanpa dikenal, dan bunyi tembakan ke udara membuat semua yang hadir menunduk dan panik. Semua merasa takut, sampai ada seseorang yang melawan orang bersenjata tersebut dan membuat suasana menjadi semakin riuh yang menyebabkan tertembaknya seseorang malam itu. Malam lomba karya seni itu mungkin merupakan malam terakhir para mahasiswa UGM dapat menghadiri kampus dengan tenang, dan malam itu pun adalah awal dimana dimulainya rencana aksi demonstrasi mahasiswa besar-besaran di Yogyakarta untuk melengserkan Presiden Soeharto.
Itu adalah titah yang berbahaya.
Radio meereka itu belum lagi memiliki izin. Bila ternyata didapati mereka melakukan provokasi, mereka bisa dijebloskan ke penjara. Undang-undang Anti-subversi itu masih berlaku hingga saat ini.
Kami, semua orang di ruangan ini, terlalu muda untuk merasakan kecemasan seperti ini. Dan ini tidak adil-entah Pak Sanusi sedang bersungguh-sungguh atau hanya menantang mereka saja-menjebak mahasiswa Teknik dalam posisi seperti itu. Tidak adil menaruh kepala Nino dan teman-temannya sebagai taruhannya. Walaupun dikatakan mereka anak-anak nekat berani mati. Walaupun selama ini selalu terlihat mereka sebagai anak-anak yang berani saja menyebrang garis-garis aman.
Well, sepertinya aku menuliskan sinopsis yang terlalu panjang untuk review kali ini. Mau bagaimana lagi, aku sangat menikmati Notasi. Sampai detik ini aku menulis review rasanya aku masih ingin menangis, ditambah lagi dengan mendengarkan lagu Sheila ON 7 yang berjudul Dan. Kisah Nalia dan Nino ini terasa begitu nyata, aku sempat berfikir bahwa karakter Nalia dan Nino ini memang seseorang yang nyata tetapi disamarkan namanya. Hahaha. Setting Kota Yogyakarta ere '98 begitu kental terasa, suasan kampus UGM pun tergambar dengan jelas dibenakku meskipun aku belum pernah datang berkunjung kesana. Aku bahkan rela untuk browsing tempat-tempat yang disebutkan didalam Notasi demi melihat langsung foto-foto yang dijadikan latar kejadian. Seperti foto Tugu Teknik, bagian depan Fakultas Teknik, dan lapangan basket Fakultas Kedokteran tempat dilaksanakannya lomba karya tulis ilmiah, dan tidak lupa pula taman segi delapan milik Fakultas Teknik.


Menurutku, novel ini termasuk novel yang padat walaupun hanya terdiri dari dua ratusan halaman tetapi, Mbak Morra dengan kepiawaiannya mampu menyuntikkan berbagai informasi penting didalamnya; sejarah radio pun sedikit diulas dalam buku ini. Dengan gaya penulisan yang luwes dari sudut pandang Nalia membuatku merasa seperti benar-benar masuk ke dalam kenangannya bersama Nino. Alur yang kadang ada di masa sekarang dan masa lalu pun sama sekali tidak membingungkan, karena mereka biasanya berada di bab yang terpisah.

Nalia, aku menyukai karakternya yang sangat perempuan sekali. Ia memang seorang gadis sopan dan pintar walaupun dibalik kesopanan dan kelembutannya itu terdapat jiwa seorang gadis yang pemberani dan cukup nekat. Mungkin karena bergabung dengan Nino dan teman-temannya dari Fakultas Teknik sedikit banyak Ia telah tertular sifat anak-anak "preman" itu. Nino bahkan mengatainya "Si gadis yang suka memanjat" karena pernah suatu malam Nalia mengahampiri Nino di Gedung Teknik Elektro dengan gaun yang sobek gara-gara tersangkut di pagar saat memanjat. Nalia yang cenderung dengan mudah dapat berterus terang, sangat berbanding terbalik dengan karakter Nino yang lebih tenang dan tertutup. Sifatnya yang demikian memang disebabkan oleh masa kecilnya ketika ia masih duduk dibangku SD dengan guru yang pro Orde Baru dan The Killing Jar.
"Si Tengku Rep tahu kamu kabur manjat pagar?" ledeknya masih menahan tawa. "Aku kasih tahu aja, apa? Cewek, calon dokter gigi. Manjat pagar. Astaga..."
Aku menjaga wajahku tetap datar. "Sekali lagi ketawa, kamu enggak dapat snack kotak!"
Ia tetap tertawa. "Biarin. Tadi juga udah makan di Teknik." 
Notasi memiliki banyak sekali karakter didalamnya. Kisah hidup karakter yang ada memang tidak diceritakan secara gamblang tapi masing-masing memiliki andil yang cukup banyak dalam cerita. Begitu juga karakter-karakter nyata yang gugur saat kerusuhan itu terjadi pun diangkat namanya disini dan berhasil membuat kisah di dalam buku ini terasa dua kali lipat lebih nyata. Aku memang tidak ada disana saat demonstrasi itu berlangsung, karena umurku baru 7 tahun dan aku tidak mengerti apa-apa. Setelah membaca buku ini, aku sedikit lebih mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan kisah sehebat ini, Notasi pun tetap tak luput dari kesalahan. Banyak sekali ditemukan typo yang rata-rata adalah dua kata yang berdempetan tanpa spasi. Jujur saja, hal itu cukup mengganggu proses membaca. Aku harap kesalahan kecil ini dapat diperbaiki ketika bukunya akan kembali dicetak ulang karena sayang sekali untuk buku bagus seperti ini jika masih ditemukan typo seperti itu. Aku pun agak sebal dengan perekatnya yang tidak kuat, membuatku harus ekstra hati-hati ketika membuka halaman buku, bahkan di bagian bawah beberapa halaman awal sudah copot dari perekatnya. Semoga hal kecil seperti ini dapat diperhatikan lebih serius lagi.

Pada akhirnya aku dapat dengan puas menutup buku ini, dan dengan hati yang sakit juga :( Bagian surat-surat Nino dan Epilog adalah bagian terberat yang kubaca. Aku memang lebih menyukai buku dengan ending yang menyedihkan tapi realistis, karena buku-buku seperti itu biasanya lebih lama dapat kukenang dihati. Hehehe. Sebenarnya Notasi tidak dapat dikatakan sebagai buku yang berakhir sedih, itu tergantung dari sudut pandang setiap pembaca. Pertanyaan-pertanyaan dalam novel ini pun terjawab tuntas, menurutku, kecuali tentang Veronika. Aku sangat tertarik dengan karakter gadis yang kuat dan sabar ini, tetapi sayangnya aku tidak bisa terlalu banyak mengetahui tentang karakternya karena memang kisah ini lebih menitik beratkan porisnya pada cerita Nalia dan Nino, juga Tragedi Mei '98.

Aku jadi ingin membaca novel-novel karangan Morra Quatro lainnya seperti Forgotten dan Believe. Aku banyak mendengar review positif tentang novel Forgotten dan juga orang-orang yang membandingkan karakter Nino dan Will (karakter utama di dalam novel Forgotten). Mudah-mudahan saja aku dapat secepatnya membaca, walaupun saat ini aku agak kesulitan untuk mendapatkan kedua buku tersebut.

xo, Puspita Sanri.

No comments:

Post a Comment